I . Pengertian Kode
Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang
secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa
(Poedjosoedarmo, 1978:30). Wardhaugh
(1986) menyebut kode sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi
antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu.
“... that the particular dialect or language one chooses to use on
any occasion is a code, a system used communication between two or more parties”
(Wardhaugh, 1986:99).
Menurut Wardhaugh, masyarakat bilingual
atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih sebuah kode (bisa
berupa dialek atau bahasa) tertentu pada saat mereka bertutur, dan mereka
mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau
mencampur kode-kode tersebut. Dengan demikian, di dalam masyarakat multibahasa
terdapat bermacam-macam kode, yang antara lain berupa dialek, sosiolek, serta
gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya kode-kode tersebut,
penutur dalam lingkungan tutur tersebut akan menggunakan kode sesuai dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan
bahasanya.
II.
Alih Kode
Alih kode (code switching) merupakan salah satu
wujud penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari
satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah
satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson, 1996: 51-53).
Peristiwa
alih kode adalah peristiwa yang lazim terjadi dalam percakapan sehari-hari,
khususnya bagi penutur yang bilingual. Misalnya, dalam suatu percakapan, semula
seorang penutur menggunakan bahasa daerah (B1), kemudian beralih menggunakan
bahasa Indonesia (B2), maka peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih
kode. Alih kode juga merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat
multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak
hanya menggunakan satu bahasa.
Appel (1976:79) mendefinisikan
alih kode itu sebagai “ gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi”. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu;
1.
Alih kode ekstern
Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris atau sebaliknya.
2.
Alih kode intern
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Bali kasar beralih menjadi bahasa Bali alus singgih.
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Bali kasar beralih menjadi bahasa Bali alus singgih.
Berbeda dengan Apple
yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymen (1875:103)
menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Lengkapnya Hymen mengatakan “code switching has become a common term for
alternate us of two or more language,
varieties of language, or even speech styles”.
Terdapat dua jenis alih kode, yaitu Situational
code-switching dan Metaphorical codeswitching (Hudson, 1996:52-53; Wardhaugh, 1986:
102-103; Istiati. S, 1985).
1.
Situational code-switching adalah adanya perubahan bahasa yang terjadi karena adanya
perubahan situasi. Seorang dwibahasawan menggunakan satu bahasa dalam satu
situasi tutur dan menggunakan bahasa yang lain pada situasi tutur yang lain.
Menurut Hudson (1996), alih kode jenis ini dinamakan situational
code-switching karena perubahan bahasa-bahasa oleh seorang dwibahasawan
selalu bersamaan dengan perubahan dari satu situasi internal
(misalnya berbicara kepada anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya
(misalnya berbicara dengan tetangga). Dalam disertasinya, Istiati. S (1985:44)
menyatakan bahwa alih bahasa jenis ini terjadi terutama disebabkan oleh latar
dan topik. Selain itu, umur, seks, pengetahuan penutur, status, sosial, dan
kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian, kaidah-kaidah
sosial budaya merupakan faktor yang dominan.
2.
Metaphorical code-switching, yaitu sebuah perubahan topik membutuhkan sebuah perubahan
bahasa yang digunakan (Wardhaugh, 1986: 103). Alih kode ini terjadi apabila
penutur merasa bahwa dengan beberapa kata atau kalimat yang diucapkan dalam
bahasa lain, maka ia dapat menekankan apa yang diinginkan sehingga akan
mendapat perhatian dari pendengarnya (Istiati. S, 1985:45).
Jika ditelusuri penyebab alih kode, maka
harus kita kembalikan pada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang
dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu “siapa pembicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Faktor penentu alih kode ditentukan
berdasarkan jenis alih kode sesuai dengan pendapat Hudson (1996), yaitu Situational
code-switching dan Metaphorical code-switching.
1.
Faktor Penentu Alih Kode
Pada penelitian tentang pemilihan kode
pada masyarakat tutur faktor-faktor penentu terjadinya alih kode diuraikan
berdasarkan jenis alih kode, yaitu (1) Situational code-switching dan
(2) Metaphorical code-switching. Pada situational code-switching perubahan
bahasa terjadi karena adanya perubahan situasi. Pada masyarakat tutur
dwibahasawan, peralihan kode bahasa terjadi karena adanya (1) perubahan situasi
tutur, (2) kehadiran orang ketiga, (3) peralihan pokok pembicaraan.
a.
Perubahan Situasi Tutur
Alih kode dapat tejadi karena perubahan situasi dari
situasi formal ke nonformal. Selain perubahan situasi dari formal ke nonformal,
perubahan situasi juga terjadi dari situasi nonformal ke situasi formal. Pada
peristiwa tutur berikut, peralihan kode terjadi pada perubahan situasi dari
nonformal ke formal yang terjadi pada ranah pergaulan.
b.
Kehadiran Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau
orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa yang sama dengan bahasa yang
sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan alih kode.
c.
Peralihan Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan merupakan salah satu
faktor pada seorang penutur dalam menentukan kode bahasa yang dipilih. Pada
masyarakat tutur Jawa, peralihan pokok pembicaraan dapat menyebabkan peralihan
kode bahasa dalam tuturan mereka. Peralihan kode yang disebabkan faktor
peralihan pokok pembicaraan ini dapat berupa kode BI ke BJ dan BJ ke BI.
III. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan
bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, perubahan
bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi. Pada campur
kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson,
1996:53). Campur kode (code-mixing)
terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau
situasi informal. Namun, bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung
satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Menurut Istiati. S (1985), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi
pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat
kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang
dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah
laku (Istiati. S, 1985: 87). Jika gejala itu hadir karena penutur telah
terbiasa menggunakan bahasa campur – demi kemudahan belaka – sebagai hasil
dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian secara terus menerus,
maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya, gejala ini
bersumber dari kemampuan berkomunikasi. Campur kode dibagi
menjadi dua, yaitu:
- Campur kode ke dalam (innercode-mixing), yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak– Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll.
- Campur kode ke luar (outer code-mixing) yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggr is – bahasa Jepang, dll.
Latar belakang
terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu;
1. Sikap (attitudinal type) atau latar belakang sikap penutur
2. Kebahasaan (linguistik type)
1. Sikap (attitudinal type) atau latar belakang sikap penutur
2. Kebahasaan (linguistik type)
IV. Faktor Penentu Campur
Kode
Faktor
penyebab campur kode tersebut adalah (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2)
penggunaan istilah yang lebih populer. Berikut ini dipaparkan kedua faktor
tersebut.
a. Keterbatasan
Penggunaan Kode
Faktor keterbatasan kode terjadi apabila
penutur melakukan campur kode karena tidak mengerti padanan kata, frase, atau
klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya. Campur kode karena faktor ini
lebih dominan terjadi ketika penutur bertutur dengan kode dasar BI dan BJ.
Keterbatasan ini menyebabkan penutur menggunakan kode yang lain dengan kode
dasar pada pemakaian kode sehari-hari. Fenomena campur kode dengan kode dasar
BI yang disebabkan karena keterbatasan penggunaan kode tampak pada
tuturan-tuturan berikut.
·
Tambah lomboknya
duaribu mbak, nggak pakai rawit ya.
Faktor penyebab terjadinya campur
kode itu adalah keterbatasan kode penutur dalam bertutur dengan kode BI.
Penutur tidak memahami padanannya dalam BI sehingga memasukkan kode yang
diketahuinya dalam kode BJ. Fenomena campur kode ini dapat pula terjadi karena
penutur lebih sering menggunakan kode tersebut dalam bertutur walaupun penutur
sebenarnya mengetahui padanannya dalam BI. Dengan seringnya penggunaan kode BJ
mengakibatkan penutur lebih mudah mengingat kode tersebut dibandingkan dengan
padanannya dalam kode BI. Faktor keterbatasan kode penutur yang menyebabkan
terjadinya campur kode juga tampak ketika penutur menggunakan kode dasar BJ
dalam berkomunikasi verbal. Campur kode yang disebabkan karena penutur sulit
mencari padanannya dalam kode BJ tampak pada tuturan berikut.
·
Sesok aku ora sida melu,
kerjaanku numpuk okeh.
‘Besok
saya tidak jadi ikut, pekerjaanku menumpuk banyak’
Kata kerjaan merupakan kode BI yang
sulit dicari padanannya dalam BJ oleh masyarakat tutur Jawa. Bagi masyarakat tutur
Jawa, kosakata kerjaan ‘gaweyan’. kosa kata gaweyan
lebih sulit digunakan dan kosa kata kerjaan merupakan
kosakata yang lebih mudah diingat dan lebih mudah digunakan. Dengan demikian,
ketika kosakata tersebut digunakan dalam bertutur akan sulit bagi mereka untuk
mengingat padanan kosakata tersebut dalam kode BJ.
b. Penggunaan Istilah
yang Lebih Populer
Dalam kehidupan sosial, terdapat
kosakata tertentu yang dinilai mempunyai padanan yang lebih populer. Tuturan berikut menunjukkan
adanya fenomena campur kode karena penggunaan istilah yang lebih populer.
·
Namanya juga penyanyi,
musti fashionable biar gaya tetep
trendi.
Tuturan di atas merupakan tuturan yang menggunakan kode
dasar BI. Dalam tuturan di atas
terdapat kata kata fashion ‘orang yang mengikuti zaman’ yang merupakan
campur kode dari kode bahasa Inggris. Dalam peristiwa tutur tersebut,
penggunaan campur kode oleh penutur dimaksudkan karena istilah tersebut dirasa
lebih populer dan dapat diterima dengan baik dalam masyarakat tutur. Oleh para
penuturnya, istilah-istilah itu lebih populer dibanding padanannya dalam bahasa
yang menjadi kode dasarnya.
V.
Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode
adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata,
yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena
sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode
dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang
terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi
sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau
kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur
bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Pada umumnya, alih kode dikaitkan dengan
perpindahan topik pembicaraan atau tuntutan situasi sosial, sedangkan campur
kode tidak. Penentuan alih kode atau campur kode terlihat pada struktur bahasa.
Apakah suatu gejala kebahasaan itu termasuk dalam kelompok alih kode atau
campur kode ditentukan oleh pemakaiannya dalam kalimat.
Thelander membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur
klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT RINERKA CIPTA.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Suhardi, Basuki. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar