Kamis, 19 Juni 2014

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE



I . Pengertian Kode  
 Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1978:30). Wardhaugh (1986) menyebut kode sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu. “... that the particular dialect or language one chooses to use on any occasion is a code, a system used communication between two or more parties” (Wardhaugh, 1986:99).
Menurut Wardhaugh, masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih sebuah kode (bisa berupa dialek atau bahasa) tertentu pada saat mereka bertutur, dan mereka mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kode-kode tersebut. Dengan demikian, di dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacam-macam kode, yang antara lain berupa dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya kode-kode tersebut, penutur dalam lingkungan tutur tersebut akan menggunakan kode sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan bahasanya.

II.          Alih Kode
Alih kode (code switching) merupakan salah satu wujud penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson, 1996: 51-53).
Peristiwa alih kode adalah peristiwa yang lazim terjadi dalam percakapan sehari-hari, khususnya bagi penutur yang bilingual. Misalnya, dalam suatu percakapan, semula seorang penutur menggunakan bahasa daerah (B1), kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia (B2), maka peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode. Alih kode juga merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai “ gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu;
1.      Alih kode ekstern
Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya.
2.      Alih kode intern   
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Bali kasar beralih menjadi bahasa Bali alus singgih.
Berbeda dengan Apple yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymen (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymen mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or  more language, varieties of language, or even speech styles”.
Terdapat dua jenis alih kode, yaitu Situational code-switching dan Metaphorical codeswitching (Hudson, 1996:52-53; Wardhaugh, 1986: 102-103; Istiati. S, 1985).
1.      Situational code-switching adalah adanya perubahan bahasa yang terjadi karena adanya perubahan situasi. Seorang dwibahasawan menggunakan satu bahasa dalam satu situasi tutur dan menggunakan bahasa yang lain pada situasi tutur yang lain. Menurut Hudson (1996), alih kode jenis ini dinamakan situational code-switching karena perubahan bahasa-bahasa oleh seorang dwibahasawan selalu bersamaan dengan perubahan dari satu situasi internal (misalnya berbicara kepada anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Dalam disertasinya, Istiati. S (1985:44) menyatakan bahwa alih bahasa jenis ini terjadi terutama disebabkan oleh latar dan topik. Selain itu, umur, seks, pengetahuan penutur, status, sosial, dan kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian, kaidah-kaidah sosial budaya merupakan faktor yang dominan.
2.      Metaphorical code-switching, yaitu sebuah perubahan topik membutuhkan sebuah perubahan bahasa yang digunakan (Wardhaugh, 1986: 103). Alih kode ini terjadi apabila penutur merasa bahwa dengan beberapa kata atau kalimat yang diucapkan dalam bahasa lain, maka ia dapat menekankan apa yang diinginkan sehingga akan mendapat perhatian dari pendengarnya (Istiati. S, 1985:45).
Jika ditelusuri penyebab alih kode, maka harus kita kembalikan pada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu “siapa pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. 
Faktor penentu alih kode ditentukan berdasarkan jenis alih kode sesuai dengan pendapat Hudson (1996), yaitu Situational code-switching dan Metaphorical code-switching.
1. Faktor Penentu Alih Kode
Pada penelitian tentang pemilihan kode pada masyarakat tutur faktor-faktor penentu terjadinya alih kode diuraikan berdasarkan jenis alih kode, yaitu (1) Situational code-switching dan (2) Metaphorical code-switching. Pada situational code-switching perubahan bahasa terjadi karena adanya perubahan situasi. Pada masyarakat tutur dwibahasawan, peralihan kode bahasa terjadi karena adanya (1) perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, (3) peralihan pokok pembicaraan.
a. Perubahan Situasi Tutur
Alih kode dapat tejadi karena perubahan situasi dari situasi formal ke nonformal. Selain perubahan situasi dari formal ke nonformal, perubahan situasi juga terjadi dari situasi nonformal ke situasi formal. Pada peristiwa tutur berikut, peralihan kode terjadi pada perubahan situasi dari nonformal ke formal yang terjadi pada ranah pergaulan.
b. Kehadiran Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan alih kode.
c. Peralihan Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan merupakan salah satu faktor pada seorang penutur dalam menentukan kode bahasa yang dipilih. Pada masyarakat tutur Jawa, peralihan pokok pembicaraan dapat menyebabkan peralihan kode bahasa dalam tuturan mereka. Peralihan kode yang disebabkan faktor peralihan pokok pembicaraan ini dapat berupa kode BI ke BJ dan BJ ke BI.
III.       Campur Kode
Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi. Pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson, 1996:53). Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun, bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).        
Menurut Istiati. S (1985), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku (Istiati. S, 1985: 87). Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur – demi kemudahan belaka – sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi. Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:      
  1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing), yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak– Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll.
  2. Campur kode ke luar (outer code-mixing) yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggr is – bahasa Jepang, dll.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu;      
1.   Sikap (attitudinal type)
atau latar belakang sikap penutur
2.   Kebahasaan (linguistik type)
IV.      Faktor Penentu Campur Kode
Faktor penyebab campur kode tersebut adalah (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih populer. Berikut ini dipaparkan kedua faktor tersebut.
a. Keterbatasan Penggunaan Kode
Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur melakukan campur kode karena tidak mengerti padanan kata, frase, atau klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya. Campur kode karena faktor ini lebih dominan terjadi ketika penutur bertutur dengan kode dasar BI dan BJ. Keterbatasan ini menyebabkan penutur menggunakan kode yang lain dengan kode dasar pada pemakaian kode sehari-hari. Fenomena campur kode dengan kode dasar BI yang disebabkan karena keterbatasan penggunaan kode tampak pada tuturan-tuturan berikut.
·         Tambah lomboknya duaribu mbak, nggak pakai rawit ya.

Faktor penyebab terjadinya campur kode itu adalah keterbatasan kode penutur dalam bertutur dengan kode BI. Penutur tidak memahami padanannya dalam BI sehingga memasukkan kode yang diketahuinya dalam kode BJ. Fenomena campur kode ini dapat pula terjadi karena penutur lebih sering menggunakan kode tersebut dalam bertutur walaupun penutur sebenarnya mengetahui padanannya dalam BI. Dengan seringnya penggunaan kode BJ mengakibatkan penutur lebih mudah mengingat kode tersebut dibandingkan dengan padanannya dalam kode BI. Faktor keterbatasan kode penutur yang menyebabkan terjadinya campur kode juga tampak ketika penutur menggunakan kode dasar BJ dalam berkomunikasi verbal. Campur kode yang disebabkan karena penutur sulit mencari padanannya dalam kode BJ tampak pada tuturan berikut.
·         Sesok aku ora sida melu, kerjaanku numpuk okeh.
‘Besok saya tidak jadi ikut, pekerjaanku menumpuk banyak’

Kata kerjaan merupakan kode BI yang sulit dicari padanannya dalam BJ oleh masyarakat tutur Jawa. Bagi masyarakat tutur Jawa, kosakata kerjaan ‘gaweyan. kosa kata gaweyan lebih sulit digunakan dan kosa kata kerjaan merupakan kosakata yang lebih mudah diingat dan lebih mudah digunakan. Dengan demikian, ketika kosakata tersebut digunakan dalam bertutur akan sulit bagi mereka untuk mengingat padanan kosakata tersebut dalam kode BJ.
b. Penggunaan Istilah yang Lebih Populer
Dalam kehidupan sosial, terdapat kosakata tertentu yang dinilai mempunyai padanan yang lebih populer. Tuturan berikut menunjukkan adanya fenomena campur kode karena penggunaan istilah yang lebih populer.
·         Namanya juga penyanyi, musti fashionable biar gaya tetep trendi.
Tuturan di atas merupakan tuturan yang menggunakan kode dasar BI. Dalam tuturan di atas terdapat kata kata fashion ‘orang yang mengikuti zaman’ yang merupakan campur kode dari kode bahasa Inggris. Dalam peristiwa tutur tersebut, penggunaan campur kode oleh penutur dimaksudkan karena istilah tersebut dirasa lebih populer dan dapat diterima dengan baik dalam masyarakat tutur. Oleh para penuturnya, istilah-istilah itu lebih populer dibanding padanannya dalam bahasa yang menjadi kode dasarnya. 

V.    Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode  
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Pada umumnya, alih kode dikaitkan dengan perpindahan topik pembicaraan atau tuntutan situasi sosial, sedangkan campur kode tidak. Penentuan alih kode atau campur kode terlihat pada struktur bahasa. Apakah suatu gejala kebahasaan itu termasuk dalam kelompok alih kode atau campur kode ditentukan oleh pemakaiannya dalam kalimat.
Thelander membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT RINERKA CIPTA.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Suhardi, Basuki. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar